Sabtu, 16 Oktober 2010

GEOLOGI

Ketiga lokasi kegiatan penelitian tersebut secara geologi termasuk daerah cekungan busur belakang Sumatera Selatan. Daerah Kungkilan dan Batuniding mewakili tipe cekungan Neogen, sedangkan daerah Padangratu mewakili tipe cekungan Paleogen (Koesoemadinata, dkk., 1978)

Pengkajian geologi Tersier daerah Kungkilan dan Batuniding lebih ditekankan pada aspek stratigrafi dan sedimentologi karena kedua daerah ini secara tektonik lebih stabil daripada daerah-daerah lain. Penelitian di daerah Padangratu lebih menonjolkan aspek geologi struktur karena perkembangan cekungan di daerah ini sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak tektonik.
Daerah Kungkilan

Batuan sedimen dan gunungapi berumur Tersier hingga Kuarter tersingkap di sepanjang Air Kungkilan. Kedudukan perlapisan batuan menunjukkan arah kemiringan antara U 260º T – U 80º T, sedangkan besarnya sudut kemiringan berkisar antara 25º hingga 10º dengan kecenderungan menjadi lebih landai ke arah hilir (timurlaut). Menurut tataan stratigrafi regional (Gafoer dkk., 1994), batuan tersebut dapat dibagi menjadi tujuh formasi, dari tua ke muda adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-2 dan 14-3).

Formasi Kikim merupakan batuan alas yang berupa lava andesit berwarna abu-abu, berasal dari hasil kegiatan gunungapi, diendapkan di lingkungan darat.

Formasi Talangakar berupa batulempung dan batupasir. Lapisan batupasir lebih berkembang di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama didominasi oleh batulempung. Batulempung biasanya berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, kadang-kadang lanauan serta mengandung fosil moluska, kepingan koral, sisa tumbuhan, dan keratan batubara. Batupasir pada umumnya berwarna abu-abu, berbutir halus hingga kasar, mengandung moluska, serpihan batubara, dan damar. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 75 m, ditindih selaras oleh Formasi Baturaja, dan diendapkan di lingkungan darat hingga laut dangkal, yaitu di laguna (Nichols, 1989).

Formasi Baturaja terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung. Batugamping tampak berwarna abu-abu terang hingga putih keabu-abuan dan terdiri atas batugamping pejal dan batugamping berlapis. Formasi ini berketebalan mencapai 85 m dan ditindih selaras oleh Formasi Gumai. Lingkungan pengendapan batuan berhubungan dengan laut yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu, yaitu laut dangkal dengan kondisi air yang jernih dan hangat (Walker, 1992).

Formasi Gumai terdiri atas batupasir dan batulempung yang membentuk perlapisan selang-seling dengan ketebalan berkisar antara 20-80 cm, namun di beberapa tempat dijumpai selang (interval) batulempung berketebalan 3-10 m. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan, mengandung glaukonit dan kadang-kadang kepingan batubara. Struktur perarian silang-siur kurang berkembang dalam lapisan batupasir ini, sebaliknya struktur perarian sejajar berkembang sangat baik. Batulempung berwarna abu-abu muda hingga kehijauan dan kaya foraminifera plangton. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka.

Formasi Airbenakat terdiri atas batupasir, batulempung, batulanau, dan perselingan antara batupasir dan batulempung atau batulanau. Secara umum kehadiran batulempung dan batulanau lebih dominan di bagian bawah dan atas, sedangkan kehadiran batupasir lebih dominan di bagian tengah. Formasi ini berketebalan mencapai 330 m, diendapkan di lingkungan laut dangkal yang dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah.

Formasi Muaraenim terdiri atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Batulempung pada umumnya berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, banyak yang bersifat lanauan, dan sering dijumpai sisa tumbuhan. Lapisan batupasir kebanyakan berwarna abu-abu, berbutir sedang hingga kasar dengan sejumlah butiran berukuran kerikil dan kerakal. Lapisan batubara dengan ketebalan hampir 2 m dijumpai sebagai sisipan di dalam batulempung. Lapisan batubara ini berwarna coklat kehitaman, berkilap kusam, dan bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang kasar. Di bagian atas, baik lapisan batupasir maupun batulempung bersifat tufaan. Formasi Muaraenim berketebalan 120 m dan merupakan endapan fluviatil yang dapat dibedakan menjadi endapan alur dan endapan limpah banjir.

Formasi Kasai terdiri tuf berbatuapung, konglomerat, dan batupasir tufan di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama terdiri atas batulanau tufaan. Formasi Kasai berketebalan 140 meter, diendapkan di lingkungan darat yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi, dan ditindih tak selaras oleh endapan sungai Kuarter yang terdiri atas kerakal dan pasir kurang padu.

Endapan aluvial menutupi secara tidak selaras satuan-satuan stratigrafi yang lebih tua. Endapan ini terdiri atas kerakal dan pasir yang tidak padu.
Daerah Batuniding

Lintasan pengukuran stratigrafi di daerah ini dilakukan di sepanjang Sungai Cawangsaling yang bermataair di Bukit Sepingtian dan mengalir kearah timurlaut. Di sepanjang Sungai ini tersingkap batuan alas Pratersier maupun batuan gunungapi dan sedimen Tersier - Kuarter. Kedudukan perlapisan batuan yang masih normal menunjukkan arah kemiringan sekitar U 335º T – U 45º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 20º - 70º. Kedudukan perlapisan batuan yang terbalik menunjukkan arah kemiringan sekitar U 245º T – U 65º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 110º - 120º. Mengacu pada pembagian stratigrafi dari Gafoer dkk. (1992), batuan tersebut terbagi menjadi tujuh formasi, dari yang tertua adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-4 dan 14-5).

Litologi Formasi Kikim terdiri atas tuf litik dan tuf lapili yang berasal dari erupsi gunungapi. Cekungan pada waktu itu masih berupa daratan

Formasi Talangakar dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah berketebalan sekitar 15 meter terdiri atas runtunan yang diawali oleh breksi disusul batupasir kuarsa yang mengandung sisa tumbuhan dengan sisipan batulanau. Bagian atas setebal 3 meter terdiri atas batulempung berwarna abu-abu tua, menyerpih bintal-bintal siderit. Formasi ini diendapakan tak selaras di atas Formasi Kikim di lingkungan aliran banjir melalui alur sungai yang dangkal atau di atas permukaan dalam bentuk sheetflood (Miall, 1977) hingga laut dangkal laguna (Horne and Fern, 1978 dalam Walker and James, 1992) dengan pengaruh genang laut.

Formasi Baturaja terdiri atas batugamping bioklastika dengan selingan napal. Formasi ini berketebalan 140 m, menindih selaras Formasi Talangakar, dan merupakan fasies inti terumbu bagian luar hingga terumbu depan.

Formasi Gumai berketebalan sekitar 70 meter, berupa selang-seling batupasir dan batulempung Perlapisan batupasir terlihat lebih dominan di bagian bawah, secara berangsur ke atas batulempung menjadi dominan, bahkan ada batupasir yang hanya berkembang sebagai lamina di dalam batulempung. Batuan merupakan endapan tipe flysch yang terbentuk di lingkungan laut dalam (Walker, 1992).

Formasi Airbenakat terdiri atas batulanau berwarna abu-abu kebiruan dengan sisipan batulempung. Baik batulanau maupun batulempung mengandung moluska laut yang diendapkan di lingkungan laut dangkal, termasuk fasies dataran lumpur di lingkungan intertidal (Dalrymple dkk, 1991).

Formasi Muaraenim terdiri atas batupasir dan batulempung yang mana batulempung lebih dominan serta mengandung sisa tumbuhan terutama berupa cetakan daun dengan sisipan tuf. Formasi ini berketebalan sekitar 180 m, menindih selaras Formasi Airbenakat, dan merupakan hasil endapan sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alur dangkal, mudah perpindah-pindah, dan sering banjir (Miall, 1992) serta berasosiasi dengan sistem pengendapan delta.

Formasi Kasai terdiri atas batupasir dan batulempung, selain tuf batuapung khususnya di bagian bawah, konglomerat, dan batulanau. Batuan merupakan hasil endapan alur sungai, aliran banjir, rawa, dan aliran batuapung yang berlangsung di lingkungan dataran aluvial.
Daerah Padangratu

Berdasarkan pembagian peta Geologi Lembar Kotaagung (Amin, dkk., 1994), batuan di daerah ini terbagi menjadi beberapa satuan stratigrafi, yang berumur dari Paleozoikum sampai Kuarter. Urut-urutan stratigrafi tersebut dari yang tertua adalah Komplek Gunungkasih, Formasi Menanga, Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Gading, Formasi Hulusimpang, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Kasai, Formasi Lampung, Batuan gunungapi Kuarter, dan Aluvium (Gambar 14-. 6).

Dalam kegiatan kali ini dilakukan interpretasi foto udara, terutama yang berkenaan dengan struktur geologi regional, pengukuran struktur geologi di lapangan, dan analisis struktur geologi terukur. Selain itu dilakukan pengamatan ciri litologi terutama batuan pendukung Formasi Talangakar, namun hanya terbatas pada bagian yang mengandung lapisan batubara dan yang berdekatan. Pembahasan mengenai tataan stratigrafi masing-masing formasi didasarkan pada peta geologi regional yang sudah ada.

Lapisan batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar ini tampak berwarna hitam, mengkilap, bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang konkoidal, mengandung pirit dengan lapisan pengotor serpih hitam. Ketebalan lapisan batubara berkisar antara 0,3 m hingga ini lebih dari 0,8 m (bagian bawah tidak tersingkap) dan kedudukan lapisannya U 270° T/20°. Lapisan batubara pada Formasi Talangakar di daerah ini umumnya terbentuk pada lingkungan rawa dan cekungan limpah banjir sistem sungai bermeander.

Sintesa yang dikemukakan oleh Tjia (1977), Pulunggono, dkk. (1992), dan Holder, dkk. (1995) dipakai sebagai acuan dan sebagai studi perbandingan antara sejarah tektonik regional Pulau Sumatera dengan daerah penelitian. Pulau Sumatera mengalami empat kali deformasi tektonik dan sistem sesar, dari Jura Akhir sampai dengan Resen. Deformasi pertama berlangsung pada Jura Akhir yang berupa fase kompresi dan daerah Padangratu masih berada di kerak samudera. Deformasi kedua berlangsung pada Kapur Akhir sampat Tersier Awal yang berupa fase ekstensi dan daerah Padangratu termasuk ke dalam jalur tunjaman. Deformasi ketiga terjadi pada Miosen Tengah sampai Resen yang berupa fase kompresi kedua dan daerah Padangratu termasuk ke dalam busur magmatik pada bagian tengah dan baratdaya. Deformasi keempat masih berlangsung aktif sekarang ini berupa pengatifan kembali beberapa sesar yang sudah terbentuk sebelumnya. Daerah penelitian yang terletak di sebelah timur Segmen Sesar Semangko dipengaruhi oleh sistem tegasan utama dan sistem sesar seperti terlihat pada Gambar 14-. 7. Penafsiran foto udara memperlihatkan bahwa sebaran Formasi Talangakar di daerah ini tampak dibatasi oleh sesar utama, yaitu sesar No. 8B dan sesar No.9A berarah U 32º T - U 212° T dan U 36° T-U 216° T.
LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KETERDAPATAN BATUBARA

Daerah Kungkilan berada di lereng timurlaut Pegunungan Garba dan merupakan bagian tepian Cekungan Sumetera Selatan, Subcekungan Palembang. Daerah Batuniding berada di cekungan yang sama dan di sebelah baratdaya dibatasi oleh Pegunungan Gumai. Secara tektonik kedua daerah ini relatif stabil dibandingkan bagian lain di dalam cekungan. Pada kala Eosen baik daerah Kungkilan maupun Batuniding masih berupa darat, diendapkan bahan gunungapi, dan membentuk Formasi Kikim. Lava andesit banyak diendapkan di daerah Kungkilan, sedangkan di daerah Batuniding diendapkan piroklastik. Kegiatan gunungapi itu berlangsung sampai Oligosen Akhir dan disusul proses peneplanation.

Genang laut dimulai pada awal Miosen sehingga bahan hasil kegiatan gunungapi tersebut digantikan oleh klastik kuarsaan dan bahan rombakan hasil pengikisan Formasi Kikim yang membentuk Formasi Talangakar. Di bawah pengaruh genang laut, cekungan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi lingkungan darat-paralik hingga laut dangkal.

Fasies darat-paralik Formasi Talangakar merupakan bagian terpenting yang berkaitan dengan keterdapatan batubara. Di daerah Kungkilan bagian ini tidak tersingkap, sebaliknya tersingkap baik di daerah Batuniding. Lingkungan darat yang berkembang adalah sistem fluvial yang didominasi oleh aliran banjir, baik yang melalui alur sungai maupun di atas permukaan (sheetflood). Sistem sungai dengan kondisi seperti itu biasanya terbentuk di daerah peneplain (Steel, 1974). Batubara dapat terbentuk dalam lingkungan seperti itu, yakni di cekungan limpah banjir atau di rawa-rawa interchannel. Baik cekungan limpah banjir maupun rawa-rawa tidak berkembang di daerah ini sehingga di daerah Batuniding tidak dijumpai batubara. Sebaliknya di daerah Padangratu, proses pengendapan yang sama namun dipengaruhi oleh struktur geologi setempat telah mengendapkan beberapa lapisan batubara dengan ketebalan berkisar antara 0,3 - 0,8 m.

Lingkungan darat-paralik Formasi Talangakar tidak berlangsung lama, menyusul perubahan ke lingkungan laguna (kecuali daerah Padangratu). Perubahan ini sangat berpengaruh pada pembentukan batubara dalam formasi ini, karena pengaruh laut yang kuat mencegah pembentukan batubara. Selain itu, lingkungan laguna laut dangkal dan fauna laut khususnya moluska yang melimpah, tidak sesuai bagi pembentukan batubara.

Perubahan lingkungan pengendapan terus berlangsung di bawah pengaruh genang laut. Lingkungan pengendapan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi laut dangkal yang jernih dan hangat sehingga terjadi pertumbuhan terumbu dan pengendapan karbonat Formasi Baturaja. Terumbu itu tumbuh sebagai koloni koral yang berasosiasi dengan ganggang, moluska, bryozoa, dan foraminifera.

Proses genang laut mencapai puncaknya pada waktu Formasi Gumai diendapkan. Lingkungan laut di daerah Kungkilan dan terutama Batuniding menjadi semakin dalam sehingga tidak lagi cocok bagi pertumbuhan terumbu maupun pengendapan karbonat. Di daerah batuniding diendapkan sedimen tipe flysch yang terdiri atas selang-seling tipis batupasir dan batulempung. Endapan serupa namun dalam fasies yang lebih proximal diendapkan di daerah Kungkilan. Suplai klastika ke dalam cekungan di daerah yang disebut terakhir menunjukkan peningkatan yang berarti. Laju sedimentasi yang tinggi ini sangat boleh jadi disebabkan oleh gerak-gerak tektonik yang menyebabkan pengangkatan. Akibatnya terjadi peningkatan kegiatan erosi, kemudian disusul oleh peningkatan laju sedimentasi dalam cekungan. Penjelasan ini diperkuat dengan ditemukannya kepingan batubara dalam lapisan batupasir yang diduga berasal dari Formasi Talangakar yang tererosi.

Tanda dimulainya susut laut sudah tampak menjelang akhir pengendapan Formasi Gumai. Adanya endapan lempung berkandungan foraminifera yang melimpah menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada sebelumnya. Perubahan lingkungan pengendapan itu semakin jelas pada saat Formasi Airbenakat mulai diendapkan yang berlangsung dalam zona inner sublittoral yang dipengaruhi sistem pasang-surut, dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah

Formasi Muaraenim dengan sistem sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alurnya yang relatif dangkal dan berjalin-jemalin. Akibatnya endapan banjir berkembang sangat ekstensif terutama di dataran limpah banjir dan cekungan limpah banjir. Di antara cekungan limpah banjir ini ada yang berumur panjang dan berkembang menjadi lingkungan rawa. Batubara yang terdapat di daerah Kungkilan telah diendapkan pada lingkungan seperti ini. Berdasarkan data palinologi, lingkungan di daerah Kungkilan pada waktu itu ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan terdiri atas akasia, durian, mara, nangka, rotan, waru, jambu, pohon Rasamala, dan masih banyak lagi. Tumbuhan tersebut merupakan bahan baku dalam pembentukan batubara.

Puncak susut laut terjadi bersamaan dengan kegiatan gunungapi, cekungan berupa dataran aluvial, dan diendapkan Formasi Kasai. Bahan gunungapi tersebut ditranspor melalui alur-alur sungai dan permukaan sebagai aliran banjir atau secara langsung sebagai aliran piroklastik. Pengendapan Formasi Kasai tidak langsung merata di semua tempat. Daerah Kungkilan termasuk daerah tinggian sehingga proses erosi mengikis bagian atas Formasi Muaraenim sebelum Formasi Kasai diendapkan. Daerah Batuniding merupakan rendahan sehingga pengendapan berlangsung secara menerus.

Subcekungan Palembang di daerah Kungkilan dan Batuniding pada dasarnya berkembang dengan pola pengendapan yang sama . Di kedua lokasi ini tidak terlihat perbedaan yang mencolok baik dalam runtunan genang laut Paleogen maupun runtunan susut laut Neogen.

Lingkungan paralik-darat yang berhubungan dengan daur susut laut berlangsung lebih lama di lingkungan dataran pantai dan dataran delta yang luas, sehingga memungkinkan pembentukan batubara dalam jumlah yang berarti. Masalahnya umur batubara tersebut relatif muda (Plio-Plistosen) sehingga dalam kondisi normal batubaranya masih tergolong lignit sampai sub-bituminus. Di beberapa tempat ada anomali (daerah Tanjungenim, Hadiyanto, 1996) karena kegiatan magma dan kenaikan gradien geothermal serta tingginya paleothermal sehingga menaikkan peringkat batubara.

Batubara yang terdapat pada Formasi Muaraenim di daerah Kungkilan diendapkan di lingkungan rawa atau cekungan limpah banjir yang terbentuk di atas dataran pantai. Endapan batubara ini penyebarannya terbatas karena kontinuitasnya dikontrol oleh bentuk rawa atau cekungan limpah banjir itu sendiri. Lapisan batubara yang penyebarannya lebih luas dan lebih tebal dijumpai di bagian yang lebih distal (ke timurlaut atau ke timur-tenggara kalau dari Batuniding). Daerah Tanjungenim terletak lebih distal, yaitu di lingkungan delta terbukti mengandung endapan batubara jauh lebih banyak daripada daerah Kungkilan.

Lingkungan dataran pantai juga berkembang di daerah Batuniding, akan tetapi batubara tidak dijumpai dalam endapan limpah banjir. Dimungkinkan cekungan limpah banjir yang terbentuk bersifat temporer sehingga tidak sempat berkembang menjadi rawa yang berasosiasi dengan batubara.

GEOMORFOLOGI

Pulau Sumatra luasnya ±435.000 km2 hampir sama dengan luas negara Inggris. Sumatra mempunyai bentuk memanjang, dari Kota Raja di bagian utara sampai Tanjung Cina di bagian selatan sepanjang 1650 km dan sepanjang pantai banyak teluk-teluknya. Pantai barat melengkung, sebarannya di Teluk Tapanuli, sedangakan di pantai timur sungai-sungainya besar dan melebar, sehingga membentuk estuarium yang dangkal pada muaranya. Pada ujung selatan pulau ini terdapat 2 teluk penting yang menjorok ke daratan ±50 km. Teluk- teluk tersebut meliputi Teluk Lampung (dengan Teluk Betung) dan pelabuhan timur “EAS HARBOUR” dan Teluk Semangko (dengan Kota Agung).

Gambaran secara umum keadaan fisiografi pulau itu agak sederhana. Fisiografinya dibentuk oleh rangkaian Pegunungan Barisan di sepanjang sisi baratnya, yang memisahkan pantai barat dan pantai timur. Lerengnya mengarah ke Samudera Indonesia dan pada umumnya curam. Hal ini mengakibatkan jalur pantai barat kebanyakan bergunung-gunung kecuali dua ambang dataran rendah di Sumatera Utara (Melaboh dan Singkel/Singkil) yang lebarnya ±20 km. Sisi timur dari pantai Sumatra ini terdiri dari lapisan tersier yang sangat luas serta berbukit-bukit dan berupa tanah rendah aluvial.

Jalur rendah terdapat di bagian timur. Pada bagian ini banyak mengandung biji intan tersebar di Aceh yang lebarnya 30 km. Semakin ke arah selatan semakin melebar dan bertambah hingga 150-200 km yang terdapat di Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan.
1. Rangkaian Bukit Barisan.
Elemen orografis yang utama adalah Bukit Barisan yang panjangnya 1650 km dan lebarnya ±100 km (puncak tertingginya ialah Gunung Kerinci dan Gunung Indrapura 3800 m). Bukit Barisan merupakan rangkaian sejumlah pegunungan yang sejajar atau colisses yang setelah cabang lainnya ke luar dari arah pokok barat laut tenggara, dikatakan bahwa arahnya lebih ke arah timur barat dan merosot (menurun) ke arah tanah rendah di bagian timur. Di antara Sungai Wampu dan Barumun merupakan Pegunungan Barisan yang bercorak empat persegi panjang (sumbu barat laut tenggara 275 km panjangnya dan 150 km lebarnya). Puncak ini disebut Batak Tumor. Pada bagian puncak yang mempunyai ketinggian 2000 m (sibutan 2457 m) terdapat kawah besar Toba yang panjangnya 31 km, serta luasnya 2269 km2, sedangkan Danau Toba panjangnya 87 km dan luasnya 1776,5 km2 (termasuk Pulau Samosir).
Sistem Barisan di Sumatra Tengah terdiri dari beberapa pegunungan blok. Bagian yang paling sempit pada peralihan Batak Tumor (75 m) yang kemudian melebar menjadi 175 m pada irisan penampang bukit Padang. Perbukitan yang tertinggi terletak di bagian barat daya dengan ketinggian lebih dari 2000 m, kemudian berangsur-angsur semakin rendah ke arah dataran rendah Sumatra Timur (Lisun-Kuantan-Lalo 1000 m dan Suligi Lipat Kain ketinggiannya lebih dari 500 m).
TOBLER (1971) membedakan elemen-elemen tektonis dan morfologi Sumatra sebagai berikut:
a. Dataran alluvial terbentang di pantai timur.
b. Tanah endapan/ Foreland tersier (peneplain) dengan Pegunungan Tiga Puluh
c. Depresi sub Barisan
d. Barisan depan / fore barisandengan masa lipatan berlebihan (over thrust masses)
e. Scheifer Barisan dengan lipatan yang hebat dan batuan metamorf.
f. Barisan tinggi/ High Barisan dengan vulkan- vulkan muda.
g. Dataran alluvial terbentang di pantai barat.
Berdasarkan kajian perkembangan geologi, Pulau Sumatra dibedakan menjadi: Basin Tersier di Sumatra Timur (a-c) disebut zone I, rangkaian pegunungan berbongkah di sebelah utara Umbilin disebut zone II, Fore barisan merupakan zone III, The Schiefer Barisan (e) tergolong zone IV kecuali zone Schiefer Barisan di sebelah utara Padang, dan High Barisan (f) termasuk zone V. Zone II dan III termasuk unsur luar terletak di sisi timur dari Bukit Barisan. Lengkung geantiklin di Bukit Barisan terangkat pada zaman Pleistosen merupakan zone IV dan V.

Elemen-elemen tektonis dan morfologi Sumatra (Verstappen)
 Dataran pantai barat (pantai abrasi), merupakan daerah yang sempit, bahaya terkena erosi dan abrasi, pantainya berpasir dan tidak cocok untuk dijadikan sebagai permukiman.
 Landas Bengkulu. Merupakan kawasan lahan rusak di sebelah barat bukit barisan dan banyak tererosi, serta memiliki lereng yang terjal.
 Deretan pegunungan vulkan muda. Daerahnya sempit dan erosinya tinggi.
 Depresi sub barisan (lembah bongkah semangka). Tidak cocok sebagi tempat hidup karena sangat sempit.
 Daerah Basalt Sukadana Lampung. Irigasnya sangat sulit karena tidak terdapat simpanan air.
 Landaian sebelah timur. Cocok bila dijadikan sebagai tempat hidup karena tanahnya datar. Dimanfaatkan sebagai daerah transmigrasi. Daerah ini berkembang menjadi daerah transmigrasi terluas di Sumatera.
 Dataran aluvial pantai timur. Merupakan daerah Rawa Payau.
2. Zone Semangka
Zone ini merupakan suatu corak permukaan yang mencerminkan karakteristik dari Geantiklin Barisan sepanjang pulau itu secara keseluruhan, yang dinamakan jalur depresi- menengah pada puncak yang disebut Semangko Rift Zone. Zone Semangko ini terbentang mulai dari teluk semangko di Sumatera Selatan dan berkembang lebih jauh ke arah Trog lembah Aceh dengan Kota Raja sebagai ujung utaranya. Di beberapa jalur ini terisi dan tertutup oleh vulkan-vulkan muda.
3. Arah Struktur Pokok
Secara umum arah struktur pokok dari Pulau Sumatra adalah:
 Sisi barat Geantiklin Barisan terbentang di sebelah barat jalur Semangko berada pada setengah Pulau Sumatera di sebelah selatan Padang tepatnya. Sisi baratnya terbentuk oleh blok kerang yang panjang dan miring ke Samudera Hindia, dan disebut Block Bengkulu.
 Gawir sesar sepanjang jalur semangko memisahkan pantai barat dan timur. Disebut juga Bukit Barisan Sensu stricto atau barisan tinggi.
 Ujung selatan bukit barisan adalah daerah Lampung.
 Di antara Padang dan Padang Sidempuan struktur geantiklinal Bukit Barisan tidak menentu. Geantiklinal block pegunungan yang memanjang di sisi timur, sama dengan daerah di sisi barat sungai subsekuen dan cabang-cabangnya.
 Batak Tumor yang merupakan lanjutan dari Bukit Barisan yang berupa kubah geantiklinal besar yang terpotong oleh jalur Semangko.
 Bukit Barisan di daerah Aceh adalah bagian teruwet pecah menjadi sejumlah pegunungan Block, yaitublock leuser dan pegunungan barat. Kedudukannya searah sisi barat seperti Block Bengkulu.
 Di sebelah barat bukit Barisan terbentang palung antara sistem pegunungan Sunda yang membentuk cekungan laut antara Sumatera dan rangkaian pulau-pulau di baratnya.

0 komentar:

Posting Komentar